coba

Saturday 5 September 2015

Sepenggal Cerita di Antara Rintihan Hujan

Entah kenapa aku selalu menjadi orang yang dicari setiap temanku sedang patah hati. Hanya sekedar teman berbagi sedih bukan untuk berbagi kekasih. Seperti hari ini, saat hujan begini saya duduk di depan rumah.Tak ada yang ingin saya nikmati selain menatap rintih-rintih hujan yang turun sore itu.

“Iya. Sibuk menatap tetesan hujan yang turun.”

Aku tahu betul, dia tak akan peduli aku sibuk atau tidak, 
ketika ia hendak bercerita ia akan melakukan itu. 
Bertanya hanyalah basa-basi saja.

“aku..”
“kamu patah hati, lagi. “




Dia mengangguk. Aku bisa menebak, karena dia tak akan datang saat aku sibuk sendirian, kalau tidak sedang patah hati. Dia paham betul, aku tidak suka diganggu kalau sedang sendiri. Apalagi saat sedang menulis, tapi saat patah hati dia tak akan peduli apa yang aku lakukan. Ya, begitulah orang yang sedang patah hati, yang ia pikirkan hanya bagaimana hatinya bisa kembali pulih.

“ternyata, dia tak seperti yang aku bayangkan.Aku pikir masih ada lelaki yang bisa mencintaiku dengan tulus.” Ia terlihat menghela napasnya. “ternyata lelaki sama saja,” Hujan semakin deras. 
Kali ini aku tak menanggapi perkataannya. Aku tak mungkin mengiyakan kalau semua lelaki 
itu sama saja. Seperti apa yang ia katakan kepadaku. Tapi aku juga tak mungkin membantah apa yang ia katakan, karena perempuan yang patah hati hanya butuh satu hal; didengarkan!
“kenapa kamu diam saja?”

Dia seolah membaca pikiranku. Kali ini, untuk beberapa detik mataku dan matanya bertatapan. Tapi hujan tak berhenti seperti dikebanyakan drama korea yang pernah ku tonton. Mungkin karena kami bukan pasangan kekasih : D *secara kami sama2 perempuan Hujan mungkin berhenti saat dua orang saling jatuh cinta bertatapan seperti di drama korea.“teruslah bercerita, aku masih mendengarkanmu.”

“aku harus bagaimana? Apa aku harus berhenti saja mencintai lelaki,”
“maksud kamu?” mataku melotot.“nggak gitu juga. 


Emang kamu pikir aku akan jadi lesbian? Ya enggaklah! Hih!” seolah bisa membaca pikiranku.
Syukurlah. Ucapku dalam hati. Aku hanya khawatir kalau dia sempat menyimpang hanya kerena patah hati.  Biar bagaimana pun, ia adalah teman perempuanku yang paling sering curhat tentang hatinya yang patah kepadaku. Aku kenal dengannya sejak dua tahun lalu. Kami sama-sama pernah kerja di satu kantor yang sama. Dan sejak dua tahun terakhir, sudah tiga kali dia bercerita tentang lelaki yang menyakitinya.

Entah karena aku penulis, atau karena aku masih belum punya pacar, banyak perempuan yang memercayakan membagi kisahnya kepadaku. Termasuk perempuan yang satu ini. Aku tak ingin menyebutkan namanya kepada kalian. Karena aku tak ingin tidak dipercaya lagi untuk menjadi teman cerita mereka.

Selama ini mereka mau bercerita kepadaku. Karena aku bisa menjaga rahasia mereka.Tapi ada yang berbeda dari dia hari ini. Tak seperti biasanya, saat patah hati ia selalu memilih tempat khusus untuk bercerita kepadaku. Tapi tumben sekali ia berani bercerita di tempat umum seperti ini.“Aku sudah capek disakiti.” Dia ikut menatap air hujan yang jatuh dari atap.


“kamu kenapa masih belum punya pacar sampai saat ini?”
Pertanyaan itu seolah menusukku, menyadarkan kalau hampir dua tahun sudah aku memang 
tak pernah menggandeng seorang laki-laki manapun, yang kukenalkan kepada teman-teman kerja
maupun teman bermainku.


“aku masih pengen fokus sama kerja.”
Aku tahu itu jawaban terbasi yang pernah ada di dunia.
Dia hanya tertawa, tak memperpanjang perihal itu. Sepertinya dia paham, 
kesendirianku adalah hal yang memang tak penting untuk dibahas panjang lebar.


“Lalu apa rencanamu?”
“aku juga ingin seperti kamu. Pengen fokus kerja saja dulu.”
Untuk pertama kalinya aku merasa sangat ringan menanggapi curhat patah hatinya. 
Aku masih ingat beberapa kali ia bercerita, aku harus menyiapkan tisu, 
harus berusaha sekuat mungkin agar dia juga bisa ikut tenang. 

Tapi kali ini dia berbeda seratusdelapanpuluh derjat.
Entah apa yang ada di benaknya, tapi setidaknya itu menunjukan hal yang lebih baik dari sebelumnya. 
Jika sebelumnya dia selalu memintaku untuk mencarikan seorang 
lelaki untuk membuat hatinya sembuh, kali ini ia tak meminta hal itu.
“Tapi kenapa kamu jadi seperti ini?”

Sekarang aku yang mulai heran.
Ada kalanya kita harus berhenti membuat orang lain bahagia 
dengan cara mencintainya. Tapi kita lupa mencintai diri sendiri. Selama ini, 
aku mencintai banyak lelaki, tapi aku tak pernah benar-benar mencintai diriku sendiri.

Aku mencintai mereka agar hatiku bisa kembali pulih. Nyatanya, aku salah. 
Cinta sebenarnya tak begitu.”Matanya terlihat tulus menatapku. Aku tahu dia sedang jujur.
“Aku pengen seperti kamu. Dua tahun tanpa kekasih, kamu tetap saja bahagia. Mungkin saatnya aku menyadari, 

tak selamanya kesendirian itu menyakitkan. Terimakasih ya, sudah memberiku banyak pelajaran tentang cinta. 
Terimakasih telah menjadi teman yang selalu menemaniku saat patah hati.” Dia menepuk bahuku.
Hujan terdengar semakin sendu. Untuk pertama kalinya, aku merasa gagal menjadi tempat berceritanya.

Dua tahun sudah kupendam rasa untuknya. Dua tahun sudah ku putuskan untuk 
mendengarkan ia bercerita tentang patah hatinya. Namun hari ini ia 
memutuskan untuk berhenti mengejar cinta. Dia sudah lepas dari ketakutannya akan kesendirian, 
sedangkan aku tak pernah lepas dari ketakukan untuk menyatakan perasaan kepadanya. 

No comments:

Post a Comment